Sejarah Singkat

Ibnu Al-Haitham

Al-Hasan Ibn al-Haytham, yang di Barat dikenal dengan nama Alhazen, lahir sekitar tahun 965 M di Basra, wilayah yang kini termasuk Irak. Ia tumbuh pada masa yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Peradaban Islam, masa di mana dunia Islam menjadi pusat kemajuan ilmu pengetahuan, filsafat, kedokteran, matematika, dan astronomi. Pada masa itu, kota-kota besar seperti Baghdad, Kairo, dan Cordoba menjadi rumah bagi banyak ilmuwan, penerjemah, dan cendekiawan dari berbagai agama dan bangsa.

Sejak kecil, Ibn al-Haytham menunjukkan kecerdasan luar biasa dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap alam semesta. Ia mempelajari filsafat, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dari berbagai sumber, termasuk karya-karya ilmuwan Yunani seperti Aristoteles, Euclid, dan Ptolemeus. Melalui kegiatan penerjemahan besar-besaran yang dilakukan para ilmuwan Muslim, Ibn al-Haytham memiliki akses terhadap pengetahuan kuno dari Yunani, India, dan Persia. Kombinasi antara ilmu klasik dan pendekatan rasional inilah yang membentuk dasar pemikirannya kelak.

Ketika reputasi ilmiahnya mulai dikenal luas, Ibn al-Haytham menarik perhatian Khalifah Fatimiyah Al-Hakim di Mesir. Ia diundang ke Kairo untuk membantu mencari solusi mengendalikan banjir Sungai Nil. Ibn al-Haytham dengan berani mengajukan gagasan besar untuk membangun bendungan raksasa, tetapi setelah melihat kondisi sungai dan peradaban Mesir kuno secara langsung, ia menyadari bahwa proyek itu tidak mungkin dilakukan dengan teknologi masa itu.

Menyadari bahwa kegagalannya dapat membahayakan nyawanya, ia berpura-pura menjadi gila agar terbebas dari kemarahan sang khalifah. Menurut hukum Islam, orang yang dianggap gila tidak bisa dimintai tanggung jawab, sehingga ia akhirnya ditempatkan dalam tahanan rumah selama bertahun-tahun. Meskipun terisolasi dari dunia luar, masa penahanan itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Dalam kesunyian kamar gelapnya di Kairo, ia justru menghasilkan karya-karya besar yang akan mengubah dunia ilmu pengetahuan untuk selamanya.